Rouge - Perbincangan ke-1

Bulan Januari telah menyapa yang menandakan awal pembelajaran di semester baru.  Biasanya tidak ada yang special dari bulan ini selain hujan yang turun tak kenal waktu, membuat semua orang menjadi kelimpungan untuk mengatur jadwal mereka. Apalagi orang-orang yang masih mengandalkan kedatangan kendaraan umum, halte akan penuh sesak dengan orang-orang yang sekedar menunggu atau ingin berteduh saja.
            Aku masih berumur enambelas ketika itu dan masih duduk di bangku kelas 11. Aku memang lebih cepat setahun dibanding teman-teman yang harusnya menjadi angkatanku. Tapi tidak masalah dengan itu semua, buktinya aku bisa membuktikan kalau aku sudah terbiasa dengan ini. Siapa yang tidak kenal dengan Jehan di sekolah ini, semua angkatan pasti mengenalku karena sikapku yang memiliki emosi yang cepat memuncak. Beberapa kali aku berkelahi sampai aku harus membuat surat peringatan karena poin yang ku miliki semakin tinggi.
            Masa-masa SMA, aku habiskan dengan menumpas habis musuh-musuh bersama para kakak kelas ataupun teman seangkatan ku. Aku juga ditakuti di sekolah karena kabar angin yang mengatakan kalau aku akan menghabisi siapapun yang mengganggu derap langkahku. Padahal aku tidak seperti itu. Kalau selama orang tersebut tidak memiliki masalah denganku, aku akan biasa saja. Tetapi kalau ada orang yang berulah denganku, maka dengan senang aku menghabisinya.
            Tak hanya di kalangan murid, aku juga cukup terkenal di kalangan guru atas sikapku yang berandal tetapi tetap rajin mengerjakan tugas meskipun sudah dekat batas waktu. Entah apa yang guru-guru itu bilang aku tidak tahu menahu. Intinya aku tetap menomorsatukan pelajaran disbanding yang lain.
            Karakterku yang seperti ini terbentuk dari keluargaku yang diambang kehancuran. Kakakku yang gila karena di perkosa oleh para lelaki kurang ajar yang sampai sekarang masih aku cari keberadaannya. Mama yang harus bekerja banting tulang untuk menghidupi keluarga. Dan ayah yang ditembak mati karena dianggap sebagai pengedar narkoba. Keluargaku sama sekali tidak dianggap keberadaannya di dalam keluarga besar, baik dari ayah ataupun mama. Seakan-akan kami dibuang dari lingkungan keluarga. Bahkan, aku tidak begitu akrab dengan sepupu-sepupuku yang lain.
            Setiap pulang sekolah, hatiku selalu merasa miris ketika melihat wajah mama yang semakin kotor dan tua dan ia sedang menyiapkan makan malam bagi aku dan dia. Ketika aku naik ke kamar, aku pasti mendengar jeritan kakakku yang berada di dalam kamarnya. Namanya Riani dan dia setahun di atasku. Waktu itu, dia baru selesai pulang sekolah karena harus rapat OSIS. Aku tidak tahu tepatnya dimana, tetapi sekelompok laki-laki dengan sigap membungkam mulut kakakku dan memperkosanya. Pihak berwajib seakan lepas tangan dengan laporan ini karena tak ada penyelidikan lebih lanjut. Aku juga masih memburu para pemerkosa sialan itu. Tetapi, kakakku berhasil melahirkan secara sempurna. Bayi laki-laki yang tak bersalah dan harus dirawat sampai sekarang oleh mama.
            Terkadang di gelapnya dan dinginnya malam, aku meratapi kehidupanku yang begitu menyedihkan. Semua berjalan lancar sebelum polisi datang dan membawa ayah ke kantor. Proses yang lama dan akhirnya divonis hukuman mati oleh majelis hakim karena dianggap sebagai pengedar narkoba. Aku tidak tahu itu benar atau tidak karena aku sendiri masih kecil saat itu.  Semuanya langsung hancur seketika. Semuanya.
            Itu yang membuatku menjadi malas di rumah dan membentuk karakterku yang seperti ini. Pernah sekali aku pernah berkelahi sampai membuat orang itu tidak sadarkan diri ketika dia menginjak-injak harga diri mama. Tak main-main kepala orang tersebut aku ketok dengan balok yang ukurannya cukup besar. Aku tidak bisa melihat keluagaku dihina oleh siapapun. Sejelek apapun, sehina apapun, dan sebusuk apapun keluargaku biarlah kami yang tahu dan kami yang mengatasinya. Tidak perlu orang lain yang pada dasarnya bukan keluarga datang mencampuri urusan keluargaku.
            Aku lebih sering diluar menghabiskan waktu bersama teman-teman sepermainanku. Merokok, minum, dan berkelahi. Aku memang berandal tetapi aku tidak ingin menggunakan apa yang namanya narkoba. Kalau aku memakai narkoba, nyata sudah cacian maki orang yang disampaikan kepada keluargaku. Aku ingat sekali waktu itu pernah ada tiga orang ibu-ibu yang sedang bergosip ria di depan rumahku.
            “Ayahnya aja pengedar, satu keluarga itu narkoba kali ya?”
            Rasanya ingin aku tendang tulang rusuk mereka sampai patah tetapi mama menahanku sambil menggelengkan kepala. Jangan pernah bayangkan kalau aku tinggal di perumahan elite seperti kisah-kisah lainnya. Aku tinggal di daerah kumuh karena tidak mampu lagi membayar iuran rumah yang dulu.
            Ingin rasanya berteriak kepada Tuhan dan dunia. Kemana mereka ketika keluargaku mengalami hal yang sangat menyedihkan seperti ini. Apa salah keluargaku sampai cobaan yang aku hadapi begitu berat. Bahkan, teman-teman baikku sewaktu dulu menjauhiku karena predikat ‘anak pengedar’ melekat pada jati diriku. Aku tidak memakai narkoba tetapi perbuatan ayah yang menjadi dinding besar bagiku untuk mengenal dunia luar.

            Terlalu menyedihkan? Ini belum ada apa-apanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rouge - Prolog